Science for Junior High School... Science for Junior High School

Selasa, 25 Maret 2014

Dalam fisika, usaha berkaitan dengan suatu perubahan. Seperti kita ketahui, gaya dapat menghasilkan perubahan. Apabila gaya bekerja pada benda yang diam , benda tersebut bisa berubah posisinya. Sedangkan bila gaya bekerja pada benda yang bergerak, benda tersebut bisa berubah kecepatannya.
Usaha yang dilakukan oleh suatu gaya adalah hasil kali antara komponen gaya yang segaris dengan perpindahan dengan besarnya perpindahan. Usaha juga bisa didefinisikan sebagai suatu besaran scalar yang di akibatkan oleh gaya yang bekerja sepanjang lintasan.
Misalkan suatu gaya konstan F yang bekerja pada suatu benda menyebabkan benda berpindah sejauh s dan tidak searah dengan arah gaya F, seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini. Komponen gaya yang segaris dengan perpindahan adalah F= F cos ?.
W = Fx . s = (F cos ?) . s = Fs cos ?
dengan :
W = Usaha (joule = J)
= gaya (N)
= perpindahan (m)
? = sudut antara F dan s (derajat atau radian)

Rabu, 12 Maret 2014

itu foto keluargaku, rukun aman sejahtera lahir dan bathin kan?? hehe
iya kami 3 bersaudara. aku anak ketiga tapi posisi di tengah
babeku paling ganteng ya, dikelilingi wanita-wanita cantik. tetep yang paling cantik ibukku hehe
ada lagi nih foto kami berlima
itu foto kami pas lagi di kaliurang, naik jeep gitu. pengalaman nggak terlupakan dah. seruu abisss. paling seneng kalo piknik sama keluarga, selain merefresh pikiran juga bisa mempererat kekeluargaan gitu. jadi bisa quality time banget hehe
sebenernya ada masih banyak foto yg aku mau share, tapi kalau formasi lengkap fotonya terbatas
nih juga ada fotoku... sendiri
nggak begitu cantik, tapi terlihat cantik karena hijab :))

terimakasih




Pengertian Ujian Nasional
Ujian Nasional biasa disingkat UN / UNAS adalah sistem evaluasi standar pendidikan dasar dan menengah secara nasional dan persamaan mutu tingkat pendidikan antar daerah yang dilakukan oleh Pusat Penilaian Pendidikan, Depdiknas di Indonesia berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 menyatakan bahwa dalam rangka pengendalian mutu pendidikan secara nasional dilakukan evaluasi sebagai bentuk akuntabilitas penyelenggara pendidikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Lebih lanjut dinyatakan bahwa evaluasi dilakukan oleh lembaga yang mandiri secara berkala, menyeluruh, transparan, dan sistematik untuk menilai pencapaian standar nasional pendidikan dan proses pemantauan evaluasi tersebut harus dilakukan secara berkesinambungan.
Proses pemantauan evaluasi tersebut dilakukan secara terus menerus dan berkesinambungan pada akhirnya akan dapat membenahi mutu pendidikan. Pembenahan mutu pendidikan dimulai dengan penentuan standar.
Penentuan standar yang terus meningkat diharapkan akan mendorong peningkatan mutu pendidikan, yang dimaksud dengan penentuan standar pendidikan adalah penentuan nilai batas (cut off score). Seseorang dikatakan sudah lulus/kompeten bila telah melewati nilai batas tersebut berupa nilai batas antara peserta didik yang sudah menguasai kompetensi tertentu dengan peserta didik yang belum menguasai kompetensi tertentu. Bila itu terjadi pada ujian nasional atau
sekolah maka nilai batas berfungsi untuk memisahkan antara peserta didik yang lulus dan tidak lulus disebut batas kelulusan, kegiatan penentuan batas kelulusan disebut standard setting.
Pelaksanaan Ujian Nasional Di Indonesia
Heboh pemberitaan media massa tentang Ujian Nasional (UN) akhir-akhir ini, tak lepas dari permasalahan pendidikan kita pada umumnya. UN yang semula dimaksudkan untuk mencapai standar kemampuan siswa, justru memunculkan berbagai persoalan. UN merupakan bagian dari penyelenggaraan pendidikan yang didasarkan pada Pasal 35 Ayat (1) UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.  Namun, penyelenggaraan UN sering dipersoalkan, karena dinilai bertentangan dengan Pasal 58 Ayat (1): ”Evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan”. Dalam forum rapat-rapat DPR, perdebatan yang terjadi adalah adanya ketentuan bahwa UN menjadi penentu kelulusan siswa, sedangkan dalam kenyataan, belum semua siswa di Indonesia memiliki kualitas yang sama.
UN 2010/2011 telah diselenggarakan dengan formula baru. Formula baru tersebut menggunakan sistem penilaian terpadu, yaitu menggabungkan nilai UN dengan nilai sekolah (NS). Nilai Sekolah adalah gabungan nilai ujian sekolah ditambah nilai rapor semester 1-4. Nilai gabungan NS dengan UN tersebut ditetapkan minimal 5,5 dimana masing-masing memiliki bobot: UN 60% dan NS 40%. Formula baru ini menjadikan UN ulangan ditiadakan dan juga menguntungkan pemerintah, karena dapat mengifisiensi waktu dan anggaran. Sistem kelulusan UN mengacu pada Permendiknas No. 46 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan UN. Namun demikian, walau telah menggunakan formula baru yang lebih longgar, ternyata masih saja ada penyimpangan dan kecurangan. Selain kebocoran soal, penyelenggaraan UN  juga ditandai adanya pencontekan massal yang sangat tidak etis dalam dunia pendidikan, apalagi menyangkut peserta didik yang masih anak-anak.
Berbicara masalah UN, kita perlu menoleh ke masa Orde Baru. Pada tahun 1971, pemerintah Orde Baru mengganti “Ujian” dengan EBTA. Sekolah diberi kewenangan penuh untuk meluluskan siswanya. Hasilnya luar biasa, hampir semua sekolah berhasil meluluskan siswanya seratus persen. Hal itu menimbulkan protes banyak kalangan, karena diduga EBTA penuh kecurangan. Pada tahun 1983 EBTA diganti dengan Ebtanas. Namun, di masa Orde Baru, fasilitas sarana dan prasarana pendidikan kondisinya lebih terkontrol karena masih menggunakan sistem sentralisasi pendidikan. Bahkan Presiden saat itu menggalakkan program SD Inpres dan lain-lain, yang begitu memperhatikan kebutuhan pendidikan hingga ke pelosok-pelosok. Walau belum tentu dapat menjangkau dan memenuhi kebutuhan secara sempurna, namun keberadaan sekolah sampai titik terjauh dapat dipantau oleh pemerintah.
Memasuki masa reformasi, dunia pendidikan tetap saja diselimuti berbagai persoalan yang membelit, yang berdampak pada kualitas lulusan dan pendidikan secara keseluruhan. Standardisasi pendidikan yang ada sekarang lebih baik dibanding pada era Orde Baru meskipun tidak se-ideal harapan pembangunan pendidikan jangka panjang. Kita tidak memiliki dokumen perbandingan standarisasi pendidikan dari masa awal pendirian NKRI dengan pendidikan terkini. Nama UN juga sering berubah, dari tiga presiden terakhir saja, nama UN telah berubah beberapa kali. Ujian Nasional (UN), Ujian Akhir Nasional (UAN) dengan Nilai Ujian Akhir Nasional (NUAN), Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional (EBTANAS) dengan Nilai EBTANAS Murni (NEM). Ada juga EBTA, Ujian Akhir Sekolah (UAS). Penggunaan nama yang berubah-ubah menunjukkan terjadi perubahan pula atas formula yang dipakai.
Kebijakan Otonomi Daerah yang lahir pada masa reformasi dengan UU No. 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, sebenarnya ikut membuat pendidikan Indonesia makin memprihatinkan. Otonomi Daerah, hanya memindahkan permasalahan pendidikan dari pusat ke daerah. Kualitas pendidikan semakin sulit berkembang, karena pendidikan ikut dijadikan objek politik para elit daerah. Salah satu contoh adalah penetapan Kepala Dinas Pendidikan oleh Kepala Daerah, yang seringkali tanpa didasarkan pada kapabilitas seseorang, melainkan hanya karena kedekatan secara politik. Akibatnya pendidikan dikelola secara serampangan karena orang yang berada di pucuk pimpinan pendidikan di daerah bukan orang yang memahami tugasnya. Kualitas guru di daerah rata-rata juga kurang baik, karena rekrutmen dilakukan secara tidak profesional. Penerimaan calon guru dengan kolusi sudah dianggap umum, dan belum jelas akreditasinya.
Pelaksanaan Ujian Nasional yang dilaksanakan sejak tahun 2004 ternyata banyak menimbulkan masalah yang banyak mengundang tanda tanya besar dan mengakibatkan munculnya persepsi-persepsi negatif terhadap pelaksanaannya.

 Hal-Hal Yang Mendasari  Ujian Nasional Di Indonesia Untuk Ditiadakan
Pada intinya, dari pasal dan ayat dari Undang-undang yang ada tentang Ujian Nasional ini jika dipadukan akan menimbulkan kontroversi. Kita tinjau pada 1) Dalam Permendiknas no 75 tahun 2009 tentang Ujian Nasional Sekolah Menengah Pertama/Madrasah Tsanawiyah (SMP/MTs), Sekolah Menengah Pertama Luar Biasa (SMPLB), Sekolah Menengah Atas/Madrasah Aliyah (SMA/MA), Sekolah Menengah Atas Luar Biasa (SMALB), Dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tahun Pelajaran 2009/2010 tujuan UN adalah menilai pencapaian kompetensi lulusan secara nasional pada mata pelajaran tertentu dalam kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi. UN yang dipakai untuk menentukan kelulusan peserta didik dari program atau satuan pendidikan. Hal ini akan menjadi sangat ironis kalau UN dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan, karena pendidikan merupakan satu kesatuan terpadu antara kognitif, afektif, dan psikomotor. Selain itu pendidikan juga bertujuan untuk membentuk manusia yang berakhlak mulia, berbudi luhur, mandiri, cerdas, dan kreative yang semuanya itu tidak dapat dilihat hanya dengan penyelenggaraan UN. Dengan kata lain, UN belum memenuhi syarat untuk dipakai sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggaraan pendidikan kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan Ujian Nasional ini ternyata menimbulkan pro-kontra di berbagai pihak. Banyak yang berkata Ujian Nasional tidak perlu dilakukan dan menentangnya. Berikut ini merupakan pembahasan kontra Ujian Nasional:
1.      UN ini telah memosisikan peran guru hanya sebagai ‘operator’ kurikulum saja.
UN mengasumsikan peserta memiliki kerangka berfikir dan karakteristik yang sama dan tidak mengindahkan perbedaan-perbedaan alami yang ada pada manusia (siswa) seperti dijelaskan teori ini. Pada saat yang sama, para guru telah bersusah payah mengakomodasikan keunikan siswa ini dengan berbagai pendekatan dan metoda dalam mengajar…tapi sayang pada akhirnya mereka tidak memiliki wewenang untuk meluluskan atau tidak meluluskan siswanya.
2.      Siswa banyak yang menjadi korban praktek sebelum UN berlangsung. Sebelum UN, siswa dipaksa di-drill dengan soal-soal UN tahun sebelumnya dan pelaksanaan pembelajaran menjadi mirip dengan bimbel yang sangat mengutamakan proses kognisi belaka serta hanya berorientasi kepada pemecahan masalah atau problem solving dan melupakan proses afeksasi
3.      Dengan kenyataan yang dikejar-kejar oleh sekolah adalah pelajaran yang diujikan secara nasional dan ada kesan yang penting lulus ujian nasional pasti lulus ujian sekolah.
4.      Ujian Nasional yang dijadikan tolak ukur hanya ranah kognitif saja sedangkan sekolah mengembangkan 3 ranah pendidikan
5.      Bahwa sekolah berhak menentukan siswa/i lulus-tidak lulus ditentukan oleh sekolah tetapi kenyataannya sekolah selalu bersandar pada lulus-tidak lulus Ujian Nasional
6.      Mengajarkan Bertindak Curang dalam Melakukan Sesuatu Hal.
Tidak bisa dipungkiri bahwa seseorang yang mengikuti ujian nasional secara tidak langsung dituntut untuk berlaku curang. Mengapa? pikirkan saja, kita belajar selama 12 tahun di bangku sekolah, dan bila kita gagal menghadapi ujian ini maka bisa dianalogikan bahwa apa yang telah kita lakukan selama 12 tahun ini menjadi sia-sia. secara tidak langsung ini mempengaruhi poa pikir seseorang bahwa selain mengandalkan kemampuan kita sendiri, melakukan tindakan (menyontek) dapat menambah presentasi kelulusan kita. sehingga pudarlah sikap jujur yang di inginkan negara kita serta sia-sia pula penanaman karakter pemerntah terhadap generasi mudanya karena tindakan tersebut.
7.      Lobang Besar bagi Tiap-tiap Tenaga Pengajar
Kenapa tenaga pengajar juga terancam? tak bisa dipungkiri bahwa teknik menyontek massal yang menjadi tamu tak diundang tiap UN ini juga bisa lancar karena adanya beberapa bantuan dari tenaga pengajarnya. bisa di katakan bahwa siswa yang menghadapi UN, gurunya yang pusing tujuh keliling. hal tersebut bukanlah sekedar mitos. terbukti dilapangan berapa jumlah tenaga pengajar atau bahkan beberapa pejabat negara ini di tanggalkan jabatananya karena terbukti membantu perilaku tindakan nyontek massal ini. bahka tiap tahun hal ini terus meningkat.
8.      Membinasakan Emas Murni Kita
Yang dimaksud emas disini bukanlah emas yang biasa kita dapatkan dilingkungan kita yang dipakai oleh wanita-wanita karir, ibu-ibu rumah tangga dan beberapa anak gadis yang biasa menjadi aksesoris mereka. namun yang dimaksud disini adalah siswa-siswa berprestasi kita yang harus gugur karena UN. bisa dibayangkan betapa terpuruknya seseorang saat hasil pengumuman UN keluar dan nama kita tercatat dalam daftar orang-orang yang tidak lulus.  itu pasti megelapkan fikiran seseorang, dan karenanya alternatif pilihannya yakni bunuh diri. potret dilapangan telah menunjukkan bahwa telah banyak berguguran siswa(i) kita karena tidak lulus UN, mereka depresi dan beberapa diantaranya memilih untuk mengakhiri hidup mereka. sungguh hal yang sangat memilukan bukan.
9.      Menodai Warna Asli Pendidikan Kita
Sejalan dengan berjalannya ujian ini, warna asli (visi dan misi) dari pendidikan yang diterapkan di negara kita kian memudar. segala sesuatu yang menyangkun ilmu yang murni ini berubah menjadi tidak karena di cemari oleh berbagai jenis politik, kepentingan pribadi dan berbagai jenis bentuk hal yang menguntungkan satu pihak. sehingga seolah-olah pendidikan di negara kita menjadi ladang peruntungan bagi beberapa orang. beberapa contoh kasus tersebut seperti pelecehan seksual seorang guru kepada muridnya, beberapa pihak sekolah yang megerogoti kantong siswanya dan lain-lain sehingga tampak jauh dari nilai murni pendidikan itu sendiri.
10.  UN memberi tekanan besar bagi siswa. Contoh beberapa kasus akibat UN.
o   Pelajar Alami Gangguan Jiwa Hadapi UN
Seorang siswi kelas 3 SMP Negeri 4 Kendari, Sulawesi Tenggara mengalami gangguan jiwa setelah terlalu banyak belajar menghadapi ujian nasional. (sumber:  Viva News)
o   Bunuh Diri Karena Tak Lulus UN
Gara-gara tak lulus ujian nasional (UN) SMA, seorang pemuda nekat bunuh diri. Diduga karena tak kuat menahan beban psikis, Tri Sulistiono (21) memilih mengakhiri hidupnya dengan cara melompat ke dalam sumur.  (sumber: Suara Merdeka)
o   Mengurung diri setelah gagal UN,  Edy akhirnya bunuh diri
Edi Hartono (19), aib karena gagal UN masih terus terasa menyesakkan. Setelah mengurung diri di rumah neneknya, mantan siswa SMA di Besuki itu akhirnya bunuh diri. (sumber: Kompas. com)
o   Gagal UN, Siswi SMP Mencoba Bunuh Diri
Hasil ujian nasional sekolah menengah pertama nyaris membawa korban jiwa di Banyuwangi, Jawa Timur, belum lama ini. Ida Safitri, siswi SMPK Santo Yusuf, mencoba bunuh diri dengan menenggak puluhan pil tanpa merek karena gagal lulus. Beruntung nyawa korban dapat diselamatkan setelah pihak keluarga segera membawanya ke rumah sakit. (sumber: Liputan6.com)
11.  Pembengkakan Dana
Terlepas dari kendala teknis penyelenggaraan ujian nasional, sedikitnya ada tiga kejadian yang membuat publik bertanya-tanya apakah ada indikasi korupsi terkait kisruh ujian nasional ini. Kementerian Keuangan sempat memblokir anggaran ujian nasional karena mengalami pembengkakan sekitar Rp 100,8 miliar. Kementerian Pendidikan hanya mengajukan dana Rp 543,2 miliar lalu membengkak menjadi Rp 644 miliar. Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Pendidikan, Khairil Anwar Notodiputro mengatakan sejak awal kementerian pendidikan mengajukan anggaran sebesar Rp 644 miliar. Adapun Menteri Nuh mengaku tak tahu-menahu ihwal pembengkakan anggaran ujian nasional ini. Perubahan biaya pembuatan soal dan jumlah peserta
Kementerian pendidikan merevisi biaya ujian dari Rp 39 ribu menjadi Rp 53 ribu per sisiwa. Selain itu, jumlah peserta ujian nasional juga menyusut dari 14 menjadi 12 juta siswa.
Para siswa dan pengawas mengeluhkan lembar jawaban ujian nasional yang terlalu tipis dan rentan sobek. Lembar jawaban itu diperkirakan berbobot 40 gram. Padahal harusnya 70 gram. Sejumlah gerai digital printing bahkan menolak untuk mengunakan kertas berbobot 40 gram itu karena dianggap tidak layak. "Dari toko kertasnya juga sudah tidak dijual lagi," kata Irfan, 32 tahun, pemilik sebuah fotokopian. Sebagai, harga kertas 70 gram ukuran A4 dijual Rp 24 ribu per rim. Sementara kertas 40 gram dijual seharga Rp 16-18 ribu per rim, lebih murah Rp 6-8 ribu. "Karena nggak laku, di sini nggak jual," ujarnya.


=Solusi Aternatif Untuk Menyelesaikan Permasalahan- Permasalahan Yang Muncul Sebagai Dampak Dari Pelaksanaan Ujian Nasional Di Indonesia



Solusi ini saya beri nama “Nilai Akhir Kumulatif”. Inti dari metode ini adalah dengan mengumpulkan Nilai laporan pendidikan selama tiga tahun untuk dijadikan Nilai Akhir kumulatif. Rekapitulasi nilai siswa/siswi yang dihitung secara kumulatif lebih mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama tiga tahun dibandingkan nilai UN yang hanya tiga hari. dengan menerapkan metode ini, peran guru yang beberapa waktu ini hilang karena kekakuan dari UN akan kembali seperti sediakala. Perlu diketahui, guru lebih mengenal siswa/siswinya dibandingkan dengan mesin pengolah data UN.
Pemerintah dapat mengatur berapa Standar “Nilai Akhir Kumulatif” yang dibutuhkan sebagai syarat kelulusan. Siswa/siswi tidak akan merasa kecewa jika kerja kerasnya selama tiga tahun dinilai dengan prestasi belajar yang diperoleh selama tiga taun pula. Demikian juga dengan guru, meraka akan rela dan senang melepaskan siswa/siswinya ke jenjang yang lebih tinggi dengan penilaian akhir seperti ini, karena sangat mewakili apa yang mereka peroleh selama tiga tahun.
Beberapa hal yang saya keunggulan dan rekomendasi dari solusi yang saya tawarkan ini:
  1. Pemerintah mengkaji ulang tulisan ini untuk mendapatkan hasil yang lebih representatif

1.      Masalah makelar soal, jual beli soal, penipuan dan pencurian terkait UN, dan lain-lain akan dapat dihapuskan.

2.      Peran guru akan kembali seperti sediakala, dan peran guru sangat sentral dalam memajukan standar pendidikan.

3.      Nilai Akhir kumulatif dapat mewakili prestasi belajar siswa/siswi selama yang bersangkutan menempuh jenjang pendidikan. Demikian juga, metode ini mewakili kinerja guru selama mereka mengajar.

4.      Dampak psikologis bagi siswa/siswi, guru, maupun orang tua akan berkurang. Siswa/siswi tidak tertekan dan memiliki waktu untuk bersosialisasi dengan sekelilingnya